Jejak Misteri Sebuah Tongkonan

Sebuah Kode Matematika di Karya Leluhur

Oct 17, 2025 - 22:15
Oct 17, 2025 - 22:19
 0  14
Jejak Misteri Sebuah Tongkonan

Kokok ayam jantan merobek sunyi pagi. Marangka tersentak bangun. Matahari, baru sepenggal, sudah mengirim bilah-bilah cahaya emas menari di lantai kayu Tongkonan yang dingin. Di luar, padang rumput memanggil dengan aroma embun dan suara kerbau yang berderap pelan.

"Marangka! Bangun, anakku! Hari sudah tinggi!" Suara Indo', seperti lonceng perunggu yang hangat, terdengar dari lantai bawah.

Marangka menguap lebar, menuruni tangga kayu yang berdecit—musik khas rumah tua itu. Hidungnya segera disambut simfoni aroma: pahit pekat kopi tubruk Ambe', wangi manis kayu cendana dari dinding purba, dan yang paling menggoda, kepulan asap pa'piong yang dimasak dalam bambu. Pagi Toraja yang sempurna.

Namun, kesempurnaan itu terganggu. Ambe' duduk diam di kursi panjang, tak seperti biasanya. Matanya menatap kosong pada ukiran kerbau di dinding, keriput di sudut matanya terlihat lebih dalam, memantulkan beban pikiran.

"Ambe' kenapa?" tanya Marangka, sendok berisi nasi dan kuah pa'piong terhenti di udara.

Ambe' menghela napas panjang, berat. "Tadi malam… Nene' datang dalam mimpi." Ia menelan ludah, suaranya serak. "Nene' bilang, ada sesuatu yang sangat penting tersembunyi di balik ukiran-ukiran Tongkonan kita. Tapi... katanya hanya bisa dibuka dengan ilmu hitung."

Seketika, aroma kopi dan pa'piong memudar. Wasiat dari alam mimpi.

Sepanjang jalan menuju madrasah, kata-kata "ilmu hitung" bergema di benak Marangka. Ia berjalan melewati deretan Tongkonan yang tegak angkuh, atapnya melengkung seperti tanduk kerbau raksasa, tubuhnya dipenuhi ukiran rahasia.

Di MTsN 1 Tana Toraja, bel berbunyi. Bu Ratna, guru Matematika dengan jilbab merah marun yang selalu rapi, masuk.

"Anak-anak," Bu Ratna mengawali, kapur pendek menari di papan tulis, "hari ini kita membahas pola bilangan. Kalian tahu? Nenek moyang kita sudah menerapkan matematika canggih dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja ukiran-ukiran di Tongkonan..."

Jantung Marangka serasa dipalu. Ini bukan kebetulan. Ini adalah petunjuk. Tangannya segera mencoret buku, menggambarkan pola ukiran di rumahnya:

 * Pa'tedong (Kepala Kerbau)

 * Pa'barre Allo (Matahari)

 * Pa'manuk Londong (Ayam Jantan)

Sepulang sekolah, tanpa membuang waktu, Marangka menyelinap ke perpustakaan daerah. Udara di sana lembap, berbau kertas tua. Pak Rahim, penjaga perpustakaan ompong yang ramah, tersenyum dari balik tumpukan koran.

"Mencari harta karun apa, Ngka?"

"Buku tentang filosofi ukiran Toraja, Pak. Yang tua," jawab Marangka, matanya berkilat penuh tekad.

Di rak pojok yang berdebu, setelah serangkaian bersin, ia menemukan buku bersampul lusuh. Di halaman yang menguning, petunjuk pola mulai terkuak:

 * Pola Pa'tedong berulang setiap 8 bagian.

 * Pola Pa'barre Allo berulang setiap 5 bagian.

 * Pola Pa'manuk Londong berulang setiap 3 bagian.

"Magrib, Ngka!" Suara Pak Rahim memecah konsentrasi. Di luar, azan mulai mengalun merdu.

Marangka berlari pulang. Seragamnya yang kusut tidak ia pedulikan. Ia segera mengambil meteran Ambe'. Dengan senter di kepala, ia mulai mengukur dan mencatat, menelusuri setiap inchi kayu Tongkonan. Jari-jarinya gemetar. Pola itu nyata, sebuah sistem hitungan yang tersembunyi dalam seni.

"Subhanallah..." gumamnya.

Malam harinya, di meja makan yang penuh aroma sambal rica-rica dan ikan bakar, Marangka mempresentasikan temuannya kepada Ambe' dan Indo'.

"Aku harus mencari bagian di mana ketiganya bertemu, Ambe'," jelasnya, penuh semangat sambil mengunyah pisang goreng panas. "Aku mencari Kelipatan Persekutuan Terkecil dari 8, 5, dan 3. Hasilnya adalah... 120! Ketiga motif ini bertemu persis di bagian ke-120. Pasti ada rahasia di sana!"

Malam itu, dalam tidurnya yang gelisah, Marangka bermimpi lagi. Nene' tersenyum lembut.

"Matematika itu Bahasa Allah, Cu. Sama seperti Al-Qur'an, tersembunyi hikmah di dalamnya," bisik Nene'.

Keesokan harinya, sehabis sekolah, Marangka segera mengambil tangga lipat. Debu kayu menyambutnya di ketinggian bagian ke-120. Ia menyemprotkan senter LED-nya ke permukaan yang jarang tersentuh.

Dan di sanalah ia menemukannya: sebuah segitiga sama sisi tersembunyi, tertutup lapisan debu tebal. Di setiap sudutnya, ada ukiran kecil berupa angka!

"18, 24, dan 36," bisiknya. "Semuanya kelipatan 6! Jika dijumlahkan, totalnya 78!"

Marangka teringat cerita Ambe' tentang tiang utama Tongkonan yang selalu menghadap utara. Logika matematika, digabungkan dengan filosofi bangunan, memberikan petunjuk arah yang jelas.

Selepas Ashar, Ambe', Indo', dan Marangka berdiri di bawah tiang utama. Mereka menghitung 78 langkah dari tiang utama ke arah utara, sesuai petunjuk segitiga tersembunyi. Langkah terakhir Marangka berhenti di sebuah batu besar yang ditumbuhi lumut.

"Tunggu," Ambe' mengikis lumut. "Ada ukiran Pa'tedong di sini."

Dengan sekuat tenaga, mereka menggeser batu itu. Di bawahnya, tersembunyi sebuah peti kayu berukir indah. Ambe' membukanya perlahan, air mata menetes. Di dalamnya ada gulungan lontar, terbungkus kain tenun Toraja.

"Innalillah..." Ambe' membaca isinya dengan suara bergetar. "Ini wasiat leluhur. Panduan ritual adat, filosofi setiap ukiran, bahkan doa-doa berbahasa Arab untuk membangun Tongkonan..."

"Kenapa disembunyikan?" tanya Marangka.

"Dulu, saat perang dan pergolakan," Indo' memeluk Marangka, "leluhur kita menyembunyikannya agar warisan, iman, dan kearifan kita tidak hilang ditelan zaman. Allah memberimu petunjuk melalui ilmu yang kau pelajari, Nak."

Penemuan ini mengubah segalanya. Naskah kuno itu menjadi harta tak ternilai, panduan bagi desa mereka. Marangka, sang pemecah kode, kini mengajar teman-temannya di madrasah, menunjukkan bagaimana matematika, Islam, dan adat Toraja adalah tiga pilar yang saling menopang, bukti kebesaran Sang Pencipta.

Malam itu, Marangka duduk di beranda Tongkonan, memandang langit yang dihiasi miliaran bintang. Ia bersyukur. Ia telah menjadi penjaga rahasia, sebuah jembatan yang menghubungkan ilmu hitung modern dengan kebijaksanaan masa lalu.

"Ya Allah," bisiknya dalam hati, "semoga generasi setelah kami juga menemukan keajaiban-keajaiban yang Engkau simpan dalam warisan leluhur..."

Dalam mimpinya, Nene' tersenyum bangga, berdiri tegak di depan Tongkonan, di mana setiap ukiran bukan hanya hiasan, melainkan sandi yang menunggu untuk dipecahkan.

“Di dinding Tongkonan tergurat kenangan, terukir harapan, tersembunyi matematika.”

What's Your Reaction?

Like Like 1
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0