Mustika Tang Mate dan Keabadian
Lakipadada dan Keabadian : Sebuah Legenda Toraja.

Dahulu kala, di wilayah pegunungan Sulawesi yang kini kita kenal sebagai Tana Toraja, hiduplah seorang bangsawan muda yang gagah dan bijaksana bernama Lakipadada. Ia adalah putra dari silsilah bangsawan terhormat yang memimpin salah satu komunitas adat di Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo—"Negeri yang Bulat seperti Bulan dan Matahari"—sebuah sebutan puitis yang melambangkan kesatuan spiritual dan adat wilayah-wilayah otonom mereka.
Lakipadada dianugerahi segalanya: status Puang (bangsawan tertinggi), kehormatan yang tak tertandingi, dan kehidupan yang makmur di tengah tatanan adat Aluk Todolo yang sakral. Namun, di balik kemegahan itu, tersimpan luka yang menggerogoti jiwanya: ketakutan yang mendalam terhadap Kematian.
Ketakutan itu bukan sekadar rasa gentar biasa. Ia adalah duka yang menumpuk. Lakipadada telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kakek-neneknya, pamannya yang gagah, bahkan adik perempuannya yang periang, satu per satu, harus meninggalkan dunia menuju Puya (negeri arwah). Rasa kehilangan itu menyisakan kehampaan yang tak terperikan. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya, sebagai pemimpin rakyat, juga akan menjadi debu dan dilupakan.
"Apa gunanya kekuasaan ini jika akhirnya semua akan berakhir sia-sia?" bisiknya pada malam-malam tanpa bulan.
Keinginan terbesarnya berubah menjadi obsesi: menemukan "mustika tang mate" (benda yang tidak mati) atau rahasia hidup kekal. Ia bermimpi untuk terus memimpin negerinya, memastikan setiap musim tanam berhasil, dan menyaksikan keturunannya tumbuh tanpa pernah merasakan perpisahan abadi. Ia ingin mengalahkan takdir.
Maka, Lakipadada mengambil keputusan yang mengejutkan seluruh Tondok Lepongan Bulan. Ia pamit kepada orang tuanya dan para pemuka adat, menyampaikan niatnya yang terasa gila: mencari keabadian ke ujung dunia. Dengan hati yang dipenuhi tekad dan kegelisahan, ia meninggalkan Tongkonan leluhur.
Ia menuruni lereng-lereng gunung yang curam, menembus hutan lebat yang tak pernah dijamah, dan berjalan tanpa henti. Perjalanan ini bukanlah pencarian harta, melainkan pencarian jawaban spiritual.
Di tepi lautan luas, yang menjadi batas negerinya, ia tiba dalam keadaan lelah dan putus asa. Di sanalah ia bertemu dengan seekor kerbau putih (Tedong Bonga) bernama Bulan Panaring. Kerbau ini bukan kerbau biasa; ia adalah kerbau sakti yang diyakini merupakan perwujudan dari kesejahteraan dan hikmat Ilahi, seolah-olah diturunkan langsung dari Puang Matua (Tuhan).
Lakipadada mencurahkan segala kegelisahannya. Bulan Panaring mendengarkan dengan sabar, seolah memahami beban yang dipikul bangsawan muda itu. "Naiklah ke punggungku, Puang," kata Bulan Panaring. "Aku akan membawamu ke negeri di seberang lautan, tempat orang-orang bercerita tentang rahasia keabadian."
Mereka menempuh pelayaran yang jauh, melawan ombak dan angin. Ketika akhirnya tiba di negeri seberang, Lakipadada mencari, bertanya, dan menyelidiki. Namun, ia hanya menemukan manusia yang sama: lahir, berjuang, dan mati. Mustika yang ia cari hanyalah mitos. Kenyataan itu menghantamnya, membuat jiwanya terasa hampa.
Lakipadada menyadari, mungkin keabadian sejati tidak berada di tempat yang jauh. Ia memutuskan untuk pulang, merindukan aroma tanah dan adat leluhurnya. Dalam perjalanan pulang, ia menaiki perahu yang ringkih, tetapi malang, perahunya karam dihantam badai.
Saat Lakipadada terombang-ambing antara hidup dan mati, seekor elang raksasa (Manuk-manuk)—seolah utusan dari langit—datang menyelamatkannya. Elang itu membawanya terbang, tetapi dalam kelelahan, Lakipadada terjatuh. Ia mendarat di dahan sebuah pohon cendana yang tumbuh di dekat sumur di wilayah Gowa.
Sumur itu ternyata tempat Ratu Gowa dan dayang-dayangnya mengambil air. Mereka menemukan Lakipadada dalam keadaan terdampar namun memancarkan aura kebangsawanan yang tak terbantahkan. Kagum akan kegagahan dan asal-usulnya dari Puang Toraja, Ratu Gowa menjadikannya menantu, menikahkan Lakipadada dengan putrinya.
Lakipadada akhirnya menetap. Ia tidak lagi mencari mustika tang mate; ia mulai membangun. Ia memiliki tiga orang putra yang bijaksana. Putra-putra ini kelak menjadi penerusnya, membawa pengaruh dan darah leluhur mereka ke seluruh jazirah Sulawesi:
* Patta La Merang (Putra Sulung): Menjadi raja yang berkuasa di Gowa, dengan gelar Somba Ri Gowa.
* Patta La Bantan (Putra Tengah): Kembali ke tanah leluhur, menduduki posisi penguasa adat di Sangalla, Toraja, bergelar Matasak Ri Lepongan Bulan.
* Patta La Bunga (Putra Bungsu): Mendirikan kekuasaan di Luwu, dengan gelar Payung Ri Luwu.
Lakipadada menyadari bahwa pencariannya telah berakhir, namun dengan cara yang tak terduga. Ia memang tidak menemukan benda ajaib yang membuatnya kebal dari maut, tetapi ia telah menemukan sesuatu yang lebih besar: keabadian melalui warisan spiritual dan keturunan.
Melalui anak-anaknya yang menjadi raja dan pemimpin, silsilah darahnya terus mengalir, membentuk sejarah tiga suku besar. Kisah pencariannya yang heroik diabadikan dalam sastra lisan Uluk-uluk dan Tuna' Pare Toraja. Namanya dikenang bukan karena ia hidup selamanya, tetapi karena ia berani menghadapi ketakutannya, berani berpetualang, dan pada akhirnya, meninggalkan jejak yang kekal dalam peradaban manusia.
What's Your Reaction?






